Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta

Kisah di Film

Kisah dibuka dengan adegan pertarungan!

Yeaaay, I like it! Gak usah lebay-lebay mulainya, langsung hajar-hajaran aja!

Okeh, ini bukan perkelahian yang sesungguhnya, namun bagian dari pendidikan di Padepokan Ki Jejer, tempat Raden Mas Rangsang, putra raja Mataram Panembahan Hanyokrowati, menuntut ilmu.

Jadi ceritanya, Mas Rangsang ini sudah dikirim secara rahasia ke Padepokan sejak usianya 10 tahun. Ia adalah anak dari istri kedua yang memang disiapkan oleh ayahnya sebagai penerus tahta.

Panembahan Hanyokrowati sempat berjanji bahwa nanti yang diangkat menjadi penerus tahta adalah Raden Martapura, puteranya dengan istri pertama, Ratu Tulungayu. Sayangnya, sang putera mahkota, Raden Martapura, menderita tuna grahita yang tentunya tidak akan mampu memimpin negara.

Raden Mas Rangsang sangat menikmati hidup sebagai santri biasa di padepokan. Dia bahkan sempat menjalin cinta dengan Lembayung, putri kepala desa setempat. Yakin bahwa dia tidak berhak atas tahta (dia bukan putera mahkota), Raden Mas Rangsang sebenarnya sudah mulai merancang masa depan untuk menetap di padepokan. Bahkan sempat mengutarakan keinginannya ini kepada sang ibunda. Namun, ibunya mengingatkan bahwa dia adalah seorang satria, bukan brahmana.

Menarik pembagian golongan saat itu masih sangat terpengaruh pada system Hindu walaupun di padepokan Islam.

Setelah sang ayah meninggal dunia, tahta Mataram segera diteruskan kepada Pangeran Martapura, sesuai janji Sultan kepada permaisurinya. Namun dengan masa kekuasaan yang hanya satu hari saja (tentu ada konflik mengenai ini dan mana ada sih ibu yang rela anaknya diturunkan dari tahta). Raden Mas Rangsang yang baru berusia 20 tahun dinobatkan sebagai raja pada hari berikutnya dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Sementara itu, VOC semakin menggurita di Nusantara. Sultan Agung sebelumnya sudah melihat bagaimana cara licik VOC ini menjatuhkan Banda dan Batavia. Selalu diawali dengan perjanjian dagang dan tahu-tahu, raja terjungkal dari tahta. Seperti Pangeran Jayakarta yang diusir dari Sunda Kelapa. Menurut Sultan Agung, cara terbaik untuk menghadapi VOC adalah dengan menyerang mereka duluan. Dan ini tidak mudah. Sebelumnya Sultan Agung harus bisa mempersatukan para Adipati yang sudah tercerai berai oleh politik adu domba Belanda.

***

Sebelumnya, saya agak sedikit trauma setelah menonton film Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Film yang menurut review-review indah, puitis, dan sangat teatrikal. Buat saya hanya ada satu kata: membosankan! Serius. Gak sampai ketiduran nontonnya kayak saya nonton Deadpool 2 (yang sebagian karena saya merasa luarbiasa bosan dengan cerita superhero tapi mungkin juga karena saya nonton itu pas bulan puasa siang-siang dari luar panaaaas trus ketemu ruangan adem yaudah tidur, hehe). Nonton Tjokroaminoto saya musti nguap-nguap dan menatap dengan rasa tidak sabarpintu exit di depan.

Astagfirullahaladzim, kapan ini selesainyaaa?

Saat itu saya sampai kepikiran, apa harus kayak gitu? Apa film yang (katanya) bagus itu musti kita gak ngerti? Kalo kayak gini ya orang males nonton.

Gara-gara trauma itu, saya jadi memutuskan untuk gak nonton Kartini di bioskop (padahal ternyata filmnya bagus). Kemudian ada film Sultan Agung ini saya baru ngeh saat salah satu putri Sultan Hamengkubuwono X, GKR Bendara komentar yang jadi viral:

Aduuuh duh duh… hancur hati ku… yg memerankan Sultan Agung kok ya pake parang yg kecil dan warna nya biru pula. Padahal yg membuat Parang Barong adalah Ibu beliau. Malah yg memerankan Abdi dalem di belakangnya yg pake Parang lbh besar. Iki piye iki piye jal. Check di FB kratonjogja aja ada loh referensinya

Saat pertama baca komentar itu, dalam pikiran saya langsung, ‘yaelah cewek bener komentarnya perasaan.’ Yaaa, bukan apa-apa. Cuy apa iya begini caranya kalo mau menunjukkan kesalahan orang? Ini kan yang komentar anaknya sultan. Kenapa sih gak hubungi baik-baik kasih tau apa yang salah. Gak usah umbar ngeluh-ngeluh gaya curhat ke media massa. Lagian, si mbaknya kan emang seumur hidup tinggal di keraton bernafas dengan budaya di sana. Lah, emangnya orang lain kayak gitu? Itu Ratu Elizabeth II kan konon gak seneng dengan penggambaran suaminya di serial The Crown, tapi gak ada yang ngeluh-curhat kayak gitu di media, dah!

Gak tau kalau di belakang, sih.

Saya jadi pengen nonton Sultan Agung.

Dan secara umum, seperti juga Kartini, saya suka. Apalagi pembukaannya udah adegan tarung kayak gitu.Walaupun kata sutradaranya film ini gak bisa jadi rujukan sejarah, tapi toh sukses mengingatkan saya akan tokoh ini dan kembali membaca-baca kisahnya. Karena, yaa, yang kita tahu tentang tokoh pahlawan-pahlawan kita hanya sedikit sekali itu juga dari pelajaran sekolah. Paling dulu juga kita Cuma disuruh ngafal nama asli pahlawan (karena kita hidup di budaya yang orang-orangnya (jaman dulu) ganti-ganti nama mulu. Ada nama kecil, udah gede ganti, nikah ganti lagi, naik tahta ganti nama lagi, aelaaah…), asal daerahnya mana, lahir dimana tanggal berapa, mati dimana tanggal berapa, trus sama julukannya. Nah, film ini berhasil menghubungkan data-data tersebut menjadi sebuah kisah yang membuat kita lebih mengerti.

Saya baca di sebuah artikel, mendiknas kita minta agar adegan perang dan kekerasannya dikurangi. Sebagai guru SD saya setuju. Tapi sebagai pribadi yang memang penggemar kisah kolosal, yaaa, ini aja kurang. Adegan perang keliatan banget anehnya. Mayat-mayat bergelimpangan dengan cipratan darah yang lebih mirip kayak kumpulan panitia kurban lagi istirahat setelah motong-motong daging yang mau dibagikan. Serius, men, ini perang bawa tombak, parang, keris, panah, bedil, dan meriam. Tapi gak ada satupun korban yang keliatan buntung, sobek besar, atau darah yang ngalir agak deras seperti seharusnya kalau arteri yang kesobek. Yaaa, saya juga gak mau lebay bener kayak Kill Bill atau film-film Tarantino yang lain, sih. Cuma aneh aja gitu.

Dari segi animasi emang masih lemah. Sampai saya kepikiran, udahlah gak usah dikasih tau armada angkatan laut kalau jadinya kayak gitu! Tapi ya gak papa. Tertutupi banget sama sinematografinya. Ngeliat padepokan dan alamnya beuh rasanya seneng banget.

Kelemahan lain, dari segi cerita yang terlalu banyak rasanya kayak disesakkan sekalian. Membuat yang nonton kadang kebingungan karena terlalu banyak tokoh datang dan pergi rasanya kayak gitu aja. Makanya komentar saya saat pertama kali keluar dari teater adalah: kenapa sih filmnya gak dipecah dua aja?

‘Maksudnya? Jadi part satu part dua gitu?’

Yaaa, kalo menurut saya, sih, kalo emang terlalu banyak cerita, dipecah ya gak papa.

Bagaimanapun, mungkin buat saya ini film biopic Indonesia yang paling saya nikmati sampai saat ini. Terlepas dari beberapa kekurangan tetep ini film oke. Dari segi sejarah, saya jadi lebih mengerti, kebayang, dan yang paling penting lebih menghargai perjuangan Sultan Agung dan para adipatinya. Saya bener-bener bisa paham sosok Sultan yang keras kepala tanpa kompromi. Saya senang cara penggambaran bahwa para adipati yang berkhianat pun tidak digambarkan jahaaaaat banget. Dari pertarungannya, lumayan buat yang udah diracunin sama The Raid (kayaknya emang sulit banget puas adegan bertarung kalau udah nonton The Raid). Saya tuh sampe bela-belain nahan pipis sepanjang film saking gak mau diputus nontonnya.

Untung filmnya gak lucu.

Hal yang bikin sedih, film gak diputer di semua bioskop. Jadinya saya nonton di bioskop yang saya trauma ke sono. Pernah ditodong di angkot soalnya.

Di tempat saya nonton itu pun sedikit yang nonton. Kursi di deretan depan saya Cuma ada satu orang. SATU ORANG! Dia sendirian aja gitu asik nonton dengan tenang.

Lah, iyalaaaah… Kalo itu orang asik ngobrol, gw kabur!!!

Di deretan saya ya cuma bertiga aja.

Ironis banget, ya.. Kalo giliran pahlawan negara lain yang tayang, mending kalau itu beneran ada di dunia nyata bukan tokoh fiksi, beuh sampai menguasai 3 theater! Itu juga ngantrinya minta ampun.

Nahh kalau senengnya, kayaknya yang nonton bareng saya itu beneran pengen nonton. Soalnya kalau film kayak gini, biasanya ada keluarga yang nonton setengah terpaksa kalau keliatan dari muka anak-anaknya (orangtua maksa anak nonton dan semuanya gak hepi), trus pas nonton si anak cari-cari ulah orangtuanya sibuk main hape. Pas saya nonton, kayaknya semua serius. Bahkan saking serius (atau semangat) ada bapak-bapak yang nyeletuk sana-sini sepanjang film. Apalagi tiap Sultan Agung bicara.

Sultan Agung: blabla… kita…

Si Bapak di Belakang: Betul!

Sultan Agung: blabla…isajdj…

Si Bapak di Belakang: Setuju, Pak!

Saya: *nahan ketawa takut beser*

Tinggalkan komentar