Berkunjung ke Museum dan Rumah Multatuli

Salah satu hal yang saya sesali karena Covid 19 ini adalah batalnya rencana traveling saya ke Jawa Timur. Saya sudah semangat sekali untuk kali ini karena sudah lama saya ingin menyusuri candi-candi dan peninggalan sejarah di sana. Namun, yaa, apa mau dikata. Allah tidak mengizinkan.

Eniwey, tahun 2019 dua kali liburan sekolah (kalo kerja di dunia pendidikan, jadilah liburannya sama kayak anak sekolah) saya tidak bisa pergi ke luar kota. Ada urusan sangat penting yang ujung-ujungnya jadi lama banget ngurusinnya.

Sesuai dengan judulnya, saya ingin mengisahkan mengenai perjalanan kami, saya dan Me Ali Si Gajah Bleduk, saat kita mengunjungi Museum Max Havelaar…eh, Museum Multatuli.

Buat yang belum tahu, Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker. Saya sudah pernah menulis review tentang karya beliau disini.

Perjalanan kami, seperti biasa, kami memilih menggunakan transportasi umum. Dari rumah, kami jalan kaki sampai halte busway terdekat, lalu turun di Stasiun Palmerah. Dari situ naik Kereta Commuter Line Rangkasbitung di Lebak, Provinsi Banten.

Gak ada sesuatu yang menarik di busway. Biasa saja. Di kereta sepanjang jalan dua jam lebih kami berdiri. Sebenarnya sih karena kami juga malas untuk menyusuri dari satu gerbong ke gerbong lain juga, hahaha.. Dan di dalam kereta, saya takjub juga melihat pemandangan yang berubah cepat. Dari ibukota Jakarta yang mengalami percepatan pembangunan yang masif ini sampai tau-tau daerah pedesaan dengan sawah dan kerbau-kerbau serta beberapa kali kereta harus berhenti karena banjir.

Ingat dengan tulisan saya Sekali Peristiwa di Banten Selatan? Yup, memang benar keadaan provinsi Banten sangat jauh tertinggal dibanding dua provinsi tetangganya yang semuanya pada masa klasik Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan Sunda: DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Dulu pada masa Kerajaan Sunda, masyarakat memang terbagi antara Sunda Gunung dan Sunda Sungai. Dari cara hidup, bermasyarakat, dan sampai tata cara penguburan berbeda. Masyarakat Sunda Sungai yang sekarang menjadi Provinsi Jawa Barat, dan khususnya daerah Kalapa (DKI Jakarta), itu lebih maju dibanding masyarakat Sunda Gunung yang sekarang provinsi Banten. Bukan ditinggal, namun karena masyarakat Sunda Gunung memang lebih senang hidup menyepi di gunung-gunung dan tidak tersentuh dunia luar.

Bayangin aja, masa pada masa pemerintahan Sri Baduga (Prabu Siliwangi) yang notabene masa keemasan terakhir kerajaan Sunda, masyarakat Sunda Gunung bahkan masih banyak yang tidak mengenal mata uang. Masih sistem barter, men. Itu artinya, minim sekali bersentuh dengan dunia luar. Sampai saat ini pun, Suku Baduy yang merupakan salah satu suku asli Banten, tetap memilih bertahan dengan cara hidupnya yang lama.

Di kereta, kami baru menyadari bahwa ini bukan wilayah kami. Maksudnya gini, biasanya kita tuh suka protes ini itu gak sungkan-sungkan. Yaa, walaupun kalo saya sih batas penerimaan dari hal-hal yang gak bener yang saya saksikan lebih atas, ya, dibanding si Gajah Bleduk yang dengan tanpa ragu angkat bicara. Tapi di KRL, kami melihat hal-hal yang bikin geregetan, kayak ada ibu-ibu agak tua berdiri sementara di depannya bapak-bapak duduk santai, dan kita gak berani negur.

Saya mengerling ke Gajah Bleduk, dia cuma bilang:

‘Kalo di busway, gw sewotin tuh bapak-bapak.’

Untungnya beberapa menit kemudian kereta tiba di salah satu stasiun dan bapak-bapak itu turun.

Sampai di Stasiun Rangkasbitung, kami sudah kelaparan. Tapi bertekad untuk berjalan kaki ke Museum Multatuli dulu, lah. Kayaknya deket kalo lihat dari google map, mah. Yaudah kami menyusuri jalanan yang ternyata…jauh juga, men! Akhirnya menyerah di alun-alun, kami berhenti dulu untuk makan siang.

Tiba di museum, beuh! Ini tempat yang asik bener buat menghabiskan hari. Terlihat baru dan tidak berjarak dengan masyarakat sekitar. Kami tiba saat jam istirahat museum yang agak bikin kaget karena kalau di Jakarta mah gak ada jam istirahat museum itu. Masa tempat wisata ada jam tutup istirahat? Tapi bagaimanapun, kami terima-terima saja. Duduk di pendopo yang luas dan cukup banyak orang termasuk ibu-ibu dan anak-anak. Mereka bukan pengunjung museum seperti kami, tapi warga sekitar yang ngadem.

Disebelah Museum ada Perpustakaan Umum Saidjah Adinda. Sekali lagi, ini diambil dari dua nama tokoh di novel Max Havelaar karangan Multatuli. Karena lama kelamaan bosan menunggu museum buka kembali, kami pun mengunjungi perpustakaan tersebut yang sebagian besar pengunjungnya adalah anak-anak sekitar yang asik aja membaca dengan segala gaya. Saya sih hepi melihat keadaan itu. Walaupun bangunannya cukup modern, tapi kesannya ramah dan tidak menakutkan pengunjung.

Di kita, kalau mau bikin tempat-tempat seperti itu memang harus dikesankan ramah dan tidak terlalu ketat aturannya. Jadi orang sekitar tidak takut. Ini cara yang dilakukan BRI yang kita semua tahu, kantor-kantor Cabang Pembantu bentuknya seperti rumah biasa dengan seragam para pegawainya juga sederhana. Alhasil, BRI menjadi bank terbesar di Indonesia.

Orang kampung gak takut masuk ke BRI.

Para petani yang pake sandal jepit tapi bawa uang sekarung abis panen gak malu untuk masuk ke BRI.

Akhirnya museum dibuka kembali pada pukul 13.30, dan Alhamdulillah gak mengecewakan. Awalnya saya agak bingung karena ini tema museum cuma tentang satu orang saja. Apa gak bikin bosen nantinya? Namun ternyata pihak pemda setempat mampu mengelaborasinya menjadi museum yang mengisahkan dari awal VOC mendarat yang memang di Banten, bagaimana perkembangan sistem pemerintahannya yang berganti-ganti namun ceritanya tetap sama aja: menindas rakyat Indonesia. Bahkan terdapat pula kisah-kisah peninggalan dari pahlawan-pahlawan lokal Lebak yang namanya mungkin tidak pernah didengar oleh masyarakat Indonesia seperti Nyai Gamparan. Dan kisah Nyai Gamparan ini membuat saya tersenyum lebar.

Bukan.

Bukan karena Nyai Gamparan menang, karena kenyataannya beliau kalah seperti tokoh-tokoh pahlawan kita yang lain. Bukan pula karena namanya yang unik. Tapi karena saat mendengar kisah tentang Nyai Gamparan yang dituturkan Teteh Guide yang sekaligus Penjaga Tiket Masuk, saya akhirnya menemukan jawaban dari pertanyaan saya selama ini:

Ini di kisah Max Havelaar kan tokoh jahatnya si Bupati yang menindas habis-habisan rakyatnya sendiri. Kok bisa? Maksud saya, bukan saya heran bupati pribumi menindas pribumi, ya.. Daftar bacaan saya sudah lama melampaui kepercayaan kalo era penjajahan Belanda itu sesimpel pribumi dijajah eropa. Menjadi pertanyaan saya adalah, siapa sih bupati itu? Gimana ceritanya kok orang sejahat itu jadi Bupati?

Ternyata Sang Bupati itu adalah orang yang menghianati Nyai Gamparan yang pada saat politik Tanam Paksa diberlakukan saat Sang Nyai melakukan pemberontakan. Gabungan antara kekuatan Belanda dan Tumenggung Kartanata berhasil mengalahkan Nyai Gamparan. Nah, Tumenggung Kartanata pun diangkat sebagai bupati yang kisah penindasannya terhadap rakyatnya sendiri demi menjilat pemerintah akhirnya dilawan dan diabadikan dalam bentuk tulisan oleh Eduard Douwes Dekker yang ironisnya, warga Belanda.

Eduard Douwes Dekker pada akhirnya kalah. Dia dipecat dari jabatannya, terusir dari Hindia Belanda, dan pulang ke Belanda dalam keadaan miskin. Beliau menulis Max Havelaar sebagai perlawanan terakhirnya. Novelnya sendiri kemudian meledak di pasaran dan membuka mata warga Eropa khususnya warga Belanda, di Negeri Belanda, mengenai penindasan yang terjadi di Hindia.

Novel yang membuat warga Belanda protes kepada pemerintahnya sendiri dan akhirnya memaksa kerajaan mengakhiri Tanam Paksa dan mulai memberlakukan Politik Etis.

Gak heran Pramoedya Ananta Toer menjuluki Max Havelaar sebagai buku yang membunuh kolonialisme di Indonesia.

Teteh penjaga tiket sekaligus guidenya ramah sekali dan menjelaskan semuanya dengan sejelas-jelasnya. Yaa, mungkin memang tugasnya tapi ini dia melakukannya tanpa ada tambahan biaya apapun, loh. Biasanya di museum itu, untuk guide ada bayaran tambahan. Ini tidak ada. Walaupun saya tidak tahu apa sampai sekarang seperti itu karena saat kami ke sini, Museum Multatuli ini masih baru dibuka, baru diresmikan oleh Ibu Bupati.

Si Teteh Guide (haduh saya lupa menanyakan namanya) menanyakan apakah kami tertarik mengunjungi rumahnya Multatuli selama menjadi Asisten Residen (pejabat setingkat Bupati) di Lebak?Rumah itu masih ada, walaupun tidak terawat. Konon rencananya pemerintah daerah ingin memugar rumah tersebut nantinya.

Tentu saja kami ingin mengunjunginya!

Teteh Guide memberikan petunjuk arah yang dari awal, kami udah bengong. Rumahnya ada di halaman Rumah Sakit, men!

Pantesan pemerintah daerah bikin museum di gedung baru. Soalnya dari awal kami bertanya-tanya, kalau museumnya memang khusus buat satu orang, yang ternyata kami salah, kenapa gak sekalian saja di rumahnya Multatuli?

Ternyata letak rumah itu ribet.

Di halaman parkir RS!

Lo kebayang kalo ada museum di lapangan parkir rumah sakit umum yang tentu selalu penuh!

Lagi riweh banyak pasien, tau-tau ada serombongan anak SD lengkap dengan guru-gurunya tereak-tereak dengan megaphone nyariin anak-anaknya yang ngilang celingak-celinguk ke ruang periksa.

Beuh!!!

Kami pun kembali berjalan kaki menuju RSU dr. Adjidarmo. Si Tetehnya bilang, ‘Deket, kok.’ Tapi kami lupa kalo ukuran dekat setiap orang beda. Lagipula, kami sudah agak lelah karena dari Jakarta berdiri, lalu berjalan kaki sampai di tempat. Tapi ya sudah, kami mulai mencari itu RS dengan hanya berbekal google map dan tanya-tanya orang sekitar. Setelah ketemu, nyari itu rumah ada di halaman parkir sebelah mana adalah cerita yang lain lagi.

RS nya kayak Rumah Sakit yang seiring berjalannya waktu, kamar-kamar dan gedung ditambah di segala sisi. Kami bertanya pada Pak Satpam, dia bingung. Kami bertanya pada perawat dan staf juga bingung. Kami mau bertanya-tanya lagi tapi takut diusir karena bikin ribet di rumah sakit. Akhirnya kami kelilingan berharap tau-tau ketemu ajalah. Dan ternyata memang iya, sampai di suatu lapangan parkir motor yang tersembunyi, mendadak kami memandangi sebuah rumah tua yang udah nyariiis banget roboh!

Ada orang lewat.

‘Pak, ini Rumah Multatuli, bukan, ya?’

‘Saya tahunya itu rumah tua yang gak tau kenapa, gak boleh dirobohin.’

Kayaknya bener, dah!

Yaa, gak bisa ngapa-ngapain juga di rumah yang mau roboh itu walaupun jejak-jejak akan dipugarnya memang sudah terlihat. Ada lapisan-lapisan lantai yang mulai dilepas memperlihatkan lantai di bawahnya yang memang terlihat kuno. Tapi bagaimanapun, saya cukup terperangah dengan kenyataan rumah ini masih ada. Dengan segala pertikaian, perubahan kekuasaan dari Belanda ke tangan Jepang lalu ke Republik, rumah ini masih ada. Padahal pada saat perpindahan kekuasaan antara belanda ke Jepang itu kan banyak keluarga-keluarga Belanda yang dibantai tentara Jepang dan rumahnya dibakar.

Setelah itu, perjalanan pulang. Kami kembali ke stasiun. Jalan kaki juga. Tapi yang kali ini sih emang niat jalan kaki. Abis udah terlanjur seharian! Sampai di stasiun, kita agak bingung karena stasiun penuuuuuh udah kayak PGC pas mau lebaran!

Pernah gak ke PGC, atau Pasar Senen, atau Tanah Abang pas mau lebaran? Itu, ya.. Kayaknya kita gak melangkah juga tau-tau aja bergerak kedorong orang-orang.

Setelah sempat bengong beberapa saat sambil ngunyah otak-otak yang gak enak dan bikin perih tenggorokan, ngeh lah kita kalo ini penumpang yang membanjiri adalah penumpang kereta menuju Merak. Kereta kami yang menuju Stasiun Tanah Abang cukup kosong, namun karena penumpang seabreg-abreg berkumpul, jadi agak susah bergerak juga.

Jangan samain Kereta Commuter dengan MRT, ya.. Walaupun sekarang sudah banyak perubahan, lebih disiplin, tapi kalau bandingin dengan MRT yang muter-muter di dalam kota Jakarta, mah. Jauh, atuh.

Sempet ada heboh karena kereta menuju Merak datang, belum berhenti sudah diserbu ramai-ramai. Semua orang tereak ‘JANGAN MASUK DULU!’

Bersamaan dengan itu, ada yang berteriak karena ada orang jatuh ke rel.

Yaudah, semua petugas langsung lari menuju arah suara. Lo kebayang, ada yang jatuh ke rel di saat kereta masih bergerak walaupun pelan.

Ada yang terak, ‘GIMANA SIH PETUGASNYA!’

Huahahaha!!!

Yaa, pokoknya ramai, lah.

Seru.

Itulah alasannya kenapa saya selalu menikmati perjalanan dengan transportasi public. Kalau ada pilihan antara transportasi umum dan kendaraan pribadi, saya selalu memilih kendaraan umum.

Jika gak kejar-kejaran waktu tentunya.

Lebih enak ngeliatin suasana sekitar dibanding terpaksa kosentrasi penuh sepanjang jalan karena nyetir, men.

Buat saya, keluhannya satu aja: toiletnya dikit amat. Masa toilet di stasiun yang lumayan gede gitu, biliknya cuma ada dua! Sampai ketinggalan kereta saya ngantri di situ. Yaa, walaupun kereta selanjutnya cuma selang 30 menit. Tapi lumayan sebel juga.

Mana diselak mulu sama ibu-ibu yang semaunya bilang:

‘Saya duluan, ya. Saya mau naik kereta.’

Lah? Dikira saya mau naik odong-odong ke sini?

Ya tapi, akhirnya pada pukul 17.30, kami masuk ke dalam kereta yang kali ini sepi dan sejuk. Perjalanan berlangsung…cukup lambat, membawa kami kembali ke Jakarta. Saya yakin, itu bukan terakhir kali kami mengunjungi Museum dan Rumah Multatuli. Suatu saat nanti, apalagi kalau Rumah Multatuli sudah selesai dipugar, saya akan kembali lagi.

Tinggalkan komentar