The Long Walk Karya Richard Bachman alias Stephen King

Saat pertama kali tahu tentang novel ini, ada dua pertanyaan terlintas di benak saya:

  1. Kenapa Stephen King ikut-ikutan pake nama pena?
  2. Kenapa juga dia jadi ikut-ikutan bikin cerita-cerita yang seperti ini yang kayak Battle Royale atau The Hunger Games

Kisah di Buku

Well, buku ini bercerita tentang sebuah lomba berjalan jauh. Iya, jalan kaki aja. Jauhnya lebih dari 500 kilometer. Dan peserta di lomba ini adalah anak-anak remaja laki-laki berusia 16 tahun. Mereka semua harus menuntaskan lomba dengan berjalan tanpa henti dan tanpa menurunkan kecepatan. Jika ada yang berhenti, atau minimal kecepatannya melambat, maka dia akan diperingati. Selang sekian detik akan ada peringatan lagi. Jika sudah sampai peringatan ketiga dan si anak masih belum bisa berjalan diatas kecepatan yang ditentukan, maka anak itu akan ditembak mati ditempat.

Njiiir…

Nah, tidak seperti di Battle Royale yang peserta permainan diculik gitu saja, atau The Hunger Games yang pesertanya dipilih acak, pada lomba ini justru semua pesertanya memang mendaftar secara suka rela. Bahkan, mereka sampai ikut tes segala macam.

Konon banyak banget yang daftar.

Sampai ada penyisihannya segala.

100 anak yang terpilih pun diberi kesempatan untuk mengundurkan diri dengan segera sehingga posisi mereka akan langsung digantikan oleh anak yang posisinya cadangan.

Men, dunia gila macam apa ini!

Kalo lomba tentunya ada hadiahnya. Maka hadiah di lomba ini adalah apapun! Apapun keinginan si juara, hanya satu juara, akan mendapatkan apapun yang dia inginkan. Udah itu aja. Sederhana sekali bukan?

Oke, tokoh utama kita namanya Garrety. Dia seorang anak laki-laki yang memiliki ibu dan seorang pacar bernama Jen. Si Garetty ini ikut lomba ya ikut saja. Walaupun ibu dan pacarnya nyuruh dia piker-pikir lagi tapi ya sudah, dia pokoknya ikut saja. Tau-tau kita ikuti pengalaman Garetty ini yang di drop oleh ibunya ke sebuah jalan dengan dibekali kue-kue kering.

Pada awalnya, saya sebagai pembaca agak blank ya ini lombanya seperti apa.

Oke..oke… saya tentunya sudah tahu sebelumnya kalua ini lomba jalan kaki sampai mati, seperti sebuah review yang say abaca sebelumnya. Tapi toh saya belum benar-benar paham ini lombanya seperti apa.

Jadi 100 anak ini diantar oleh keluarga masing-masing, lalu lomba dimulai. Kita tahu bahwa ini lomba jalan kaki dan peserta gak boleh menurunkan kecepatan. Kalau menurunkan kecepatan, maka peserta itu akan diberi peringatan 3 kali dan terakhir akan diberi tiket.

Tiket itu adalah tembakan sampai mati.

Iya, iyaaa.. Tadi sudah saya kasih tau. Tapi betapa terkejutnya saya kalau ternyata para peserta lomba juga tahu. Bahkan ada beberapa diantara mereka yang pernah menonton lomba ini secara langsung dari pinggir jalan. Dan menurut mereka, para peserta lomba saat itu sudah dalam keadaan yang mengerikan.

Lah, kalo gitu kenapa mereka semua pada daftar, ya..

Selain tembakan sampai mati itu pun sejumlah peraturan tidak manusiawi disematkan pada peserta lomba. Misalnya, mereka tidak boleh menurunkan kecepatan karena keadaan apapun. Mau sehat, sakit, minum, kelaparan, luka parah, bahkan sambil buang air besar sekalipun! Mereka tidak diperkenankan menerima makanan atau minuman dari para penonton. Mereka.. ya intinya mereka hanya boleh berjalan sampai finish, atau sampai mati.

Minuman mereka bisa meminta sebanyak apapun..tapi hanya orang yang bersangkutan yang boleh meminta. Jadi jika ada anak yang sudah dalam keadaan tak berdaya, lidah terjulur kejang-kejang tapi sambil jalan, tidak bisa peserta lain memintakan minum atau sekedar menyiram kepala si anak itu dengan air minumnya. Untuk makanan akan diberikan setiam jam 9 pagi dalam bentuk sabuk yang terdapat kantong2 berisi biscuit dan tube-tube makanan yang sudah dilembutkan.

Saya sih ngebayanginnya kayak ikat pinggangnya engkong saya.

Iya, setiap jam 9 pagi. Karena lomba ini berlangsung berhari-hari tanpa sedetikpun berhenti.

***

Kisah ini ceritanya ya gitu aja. Gak ada latar belakang kenapa lomba ini diadakan, atau siapa sih si keparat yang bikin-bikin lomba kayak gini. Pokoknya cerita berjalan aja. Dari awal sampai akhir ceritanya ya jalan aja gitu.

Tentunya ya karena ini lomba jalan, bukan lomba lari, para peserta sempat ngobrol-ngobrol sepanjang jalan dan bahkan, jadi saling bersahabat satu sama lain. Walaupun, gak semua. Nah, obrolan-obrolan inilah yang kemudian membentuk kisah sehingga kita tahu perwatakan atau sekedar latar kenapa mereka ikutan lomba ini.

Pada awal tulisan saya sudah menyatakan dua pertanyaan yang ternyata jawabannya sama: dia gak ikut-ikutan. Ternyata walaupun baru beberapa tahun saja diterbitkan terjemahan Bahasa Indonesianya, namun novel ini adalah novel pertamanya Stephen King yang ditulisnya saat dia masih menjadi mahasiwa baru di tahun 1971 jauh sebelum The Hunger Games dan Battle Royale. Jadi, ya.. Stephen King gak ikut-ikutan karena ini udah duluan.

Mengenai kenapa pake nama pena ternyata ini ada ceritanya. Pada awal karirnya, Stephen King sudah menjadi penulis yang produktif. Namun pada saat itu, tidak biasa seorang penulis menerbitkan lebih dari satu buku dalam satu tahun. Nah, akhirnya Stephen King menerbitkan bukunya dengan dua nama.

Membuat saya terkesima adalah ide dibalik penulisan kisah yang tragis dan tidak manusiawi ini ternyata adalah sebuah program yang dicetuskan oleh Presiden Kenedy yaitu program jalan kaki agar para pemuda amrik lebih sehat.

Waelah buset, ini gimana program yang sangat bagus gitu malah jadi sumber inspirasi dari sebuah kisah yang seremnya (bukan dalam artian serem hantu-hantuan tentunya) gak ketulungan gini, ya..

Satu hal yang bikin saya kepikiran adalah bagaimana gilanya para penonton yang mereka, ya nonton aja gitu. Padahal para anak mudah ini udah jalan ratusan kilometer dengan keadaan yang mengerikan, compang-camping, luka, kelaparan, sambil kejang-kejang sampe mati mengenaskan atau ditembak yang gak selalu langsung mati, tapi ya penonton…menyoraki saja kayak lomba biasa.

Kok mereka gak punya rasa kasihan, ya..

Tapi saat saya memikirkan lagi, bukankah memang seperti itu kenyataannya? Saya ingat saat kecil senang sekali menonton balap mobil dan balap sepeda motor. Hal yang paling saya sukai saat menonton adalah saat ada adegan tabrakan. Gila dulu saya (dan Papa saya) senang sekali adegan trabrakan sampai menunggu-nunggu tanpa sadar bahwa saat tabrakan itu, ada yang terluka parah dan bahkan sampai tewas. Para penonton tinju misalnya, itu kan sebenarnya kita melihat orang saling mukul saling menyakiti. Lalu kenapa enggak kalo sebuah lomba dibuat lebih ekstrim seperti itu. Iya, kan?

Eniwey, buku ini nyaris tidak bisa saya letakan. Mungkin karena selama beberapa minggu terakhir saya terus menerus membaca buku-buku teks perkuliahan bahan ajar selain buku-buku sejarah sehingga baca buku ini tuh rasanya ringaaaan sekali dan tidak terhenti sampai akhir.

 

 

Tinggalkan komentar